“Malam ini Nenek mau nyeritain dongeng apa?” tanyaku yang sudah merebahkan diri di atas tempat tidur.
Nenek tersenyum padaku. “Kamu mau dengerin dongeng apa?” Nenek balas bertanya, seraya merapikan selimut. Tangan beliau yang kurus dan keriput kemudian mengelus-elus rambutku. Ada sensasi seperti desiran angin sewaktu beliau melakukannya.
“Terserah Nenek. Aku suka semua dongeng Nenek,” jawabku.
Lagi-lagi Nenek tersenyum, membuat wajah cekungnya terlihat hangat. “Kalau gitu, Nenek ceritain tentang Sangkuriang aja, ya?”
Aku mengangguk setuju. Nenek pun duduk di sisiku, di pinggir tempat tidur. Beliau menceritakan kisah Sangkuriang seraya menggenggam lembut tanganku.
Aku suka saat Nenek mendongeng. Suara beliau mengalun lembut seperti tembang. Sesekali, beliau juga asyik merapikan rambut panjangnya dengan jari. Rambutnya yang beruban jatuh ke bahu lalu meluncur hingga pangkuan. Dapat kucium wangi orang-aring dari rambutnya, bercampur dengan wangi vanila dari parfum yang menempel di daster putih.
Aroma yang familiar. Aroma yang meluapkan rasa rindu.
Nenek terus bercerita. Dia kemudian menatapku dengan penuh kasih sayang. Bahkan di tengah pencahayaan redup dari lampu meja, bisa kulihat mata tuanya berkaca-kaca. Berkat permainan cahaya pula, keriput-keriput di wajah beliau semakin kentara.
“… Dan, dari sanalah Gunung Tangkubanperahu tercipta,” tutur Nenek, mengakhiri dongengnya.
Aku tersenyum. “Makasih, Nek….”
Nenek mengangguk. “Sama-sama. Tapi, kamu kok malah belum tidur?”
Aku terkekeh. Alih-alih memejamkan mata, aku malah bangkit untuk memeluknya. Nenek pun balas merangkulku. Rasanya hangat, damai, dan menyenangkan.
“Adhi sayang sama Nenek…” bisikku sepenuh hati.
“Nenek juga sayang banget sama Adhi…” balas Nenek, dipenuhi kerinduan. Ada isak kecil yang ikut terdengar. Setelahnya, beliau menghadiahkanku sebuah kecupan di kening.
Pintu kamar lantas terbuka dan mengagetkanku. Rupanya Ayah. Wajahnya bingung sementara dahinya tertekuk. “Lho, Ibu? Ibu tadi bicara dengan siapa?” tanya beliau.
Nenek menggeleng, menghapus air matanya, lalu tersenyum. “Tidak. Tidak dengan siapa-siapa kok,” jawabnya agak serak.
“Tapi, tadi aku dengar—”
“Mungkin kamu salah dengar,” potong Nenek. “Oh ya. Besok hari Minggu, kan? Ajak Ibu ke makam Adhi, ya? Ibu kangen….”
***
Bogor, Maret 2014
Edit Juni 2014